Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI SEI RAMPAH
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
3/Pid.Pra/2023/PN Srh KOK CIANG Alias JOHAN Kepala Kepolisian Sektor Dolok Masihul Minutasi
Tanggal Pendaftaran Kamis, 13 Jul. 2023
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penyitaan
Nomor Perkara 3/Pid.Pra/2023/PN Srh
Tanggal Surat Kamis, 13 Jul. 2023
Nomor Surat PN SRH-64AE517F0D045
Pemohon
NoNama
1KOK CIANG Alias JOHAN
Termohon
NoNama
1Kepala Kepolisian Sektor Dolok Masihul
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

KOK CIANG alias JOHAN,    Pria, Umur 54 Tahun, Agama Budhha, Kewarganegaraan Indonesia, Pemegang NIK KTP No. 1276010512690003, beralamat di Jalan SM. Raja Komp. Citra Harapan Blok CC/5 Lk. III, RT/RW : 003/003, Kelurahan Bandarsono, Kecamatan Padang Hulu, Kota Tebing Tinggi, Provinsi Sumatera Utara;

Untuk selanjutnya disebut sebagai-----------------------------------------------------------------------------PEMOHON

 

Bahwa dalam hal ini PEMOHON mengajukan PERMOHONAN PRAPERADILAN pada Pengadilan Negeri Sei Rampah guna melawan :

 

KEPOLISIAN SEKTOR DOLOK MASIHUL,     Yang beralamat Kantor di Jl Lintas Tengah Sumatera, Martebing, Kec. Dolok Masihul, Kabupaten Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara 20991;

Untuk selanjutnya disebut sebagai---------------------------------------------------------------------------TERMOHON

Bahwa sebagaimana ketentuan dalam mengajukan Permohonan Praperadilan ini. maka, Pemohon Mengajukan Permohonan a quo adalah untuk mengajukan permohonan Praperadilan terhadap tidak sahnya tindakan Penggeledahan dan tidak sahnya tindakan penyitaan yang dilakukan oleh Kepolisian Sektor Dolok Masihul terhadap Gudang dan Barang milik Pemohon;

Bahwa, Adapun yang menjadi alasan dan dasar pengajuan permohonan pemohon tersebut adalah sebagaimana uraian berikut:

DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN

Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan merujuk pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka;

 

Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan :

Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”

 

Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah:

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;

 

Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

 

Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo. Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui MK dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan serta sah tidaknya penggeledahan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang pro rakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.

 

Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :

 

Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011
Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 november 2012
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015
Dan lain sebagainya

 

Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan sah tidaknya Penggeledahan dan Penyitaan, seperti pada kutipan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :

Mengadili,

Menyatakan :

Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :

[dst]
[dst]
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
Pasal 77 huruf a Undang-UndangNomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

 

Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penggeledahan dan Penyitaan merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.

ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

TIDAK SAHNYA TINDAKAN PENGGELEDAHAN DAN PENYITAAN YANG DILAKUKAN OLEH TERMOHON

 

Bahwa Penggeledahan rumah diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 17 yang menyatakan : “Penggeledahan Rumah adalah tindakan penyidik untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan  dan/atau Penyitaan dan/atau Penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”;

 

Bahwa tindakan Penggeledahan erat hubungannya dengan hak Asasi manusia sehingga kewenangan dalam memeriksa sah tidaknya Penggeledehan dapat diajukan dan dituangkan dalam Permohonan Praperadilan PEMOHON;

 

Bahwa pada tanggal 6 Juli 2023 sekitar Pukul 12.30 WIB, tiba-tiba saja Gudang Usaha Bobot / Rongsokan yang beralamat di Jl. Perjuangan LK.1, desa Pekan Dolok Masihul, Kecamatan Dolok Masihul, Kab. Serdang Bedagai, didatangi atau disambangi beberapa Anggota Polri yang berasal dari Kepolisian Sektor Dolok Masihul (TERMOHON) yang saat itu dikomandoi oleh IPTU AM. PURBA, S.HI, MH. Yang mengaku sebagai Penyelidik dan memasuki Gudang Bobot / Rongsokan milik PEMOHON secara Paksa, serta berusaha mencari Barang Bukti berupa Besi Plang yang katanya adalah merupakan milik dari Pesantren Babul Izzah. Dan saat plang ditemukan dan diakui oleh Pelapor sebagai Miliknya, TERMOHON kemudian ingin melakukan Penyitaan;

 

Bahwa kemudian Ibu SUYANTI yang merupakan saudara dari PEMOHON kemudian menanyakan Surat Penggeledahan dan Surat Penyitaan, karena TERMOHON saat melakukan Penggeledahan hanya menunjukan Surat Perintah Tugas Nomor : Sprin/83/VII/RES.1.8/2023 tertanggal 6 Juli 2023 tentang printah yang berbunyi melakukan Penyelidikan tindak pidana pencurian;

 

Bahwa karena TERMOHON tidak dapat menunjukan Surat Penggeledahan dan Surat Penyitaan, kemudian IPTU AM. PURBA, S.HI, MH. Menelpon Rekan Polrinya yang berada di Kantor TERMOHON untuk menyiapkan Surat Penggeledahan dan Penyitaan, sehingga TERMOHON yang saat itu menghentikan Penggeledahan dan kembali ke Kantor dan selang beberapa Jam kemudian TERMOHON kembali ke Gudang Bobot / Rongsokan milik PEMOHON untuk mengambil dan menyita Barang Bukti Plang Besi berwarna Hijau yang diakui oleh PELAPOR adalah miliknya;

 

Bahwa PEMOHON memperoleh besi Plang berwarna Hijau tersebut adalah dari hasil Pembelian oleh seseorang yang menawarkan Besi tersebut untuk dijual kepada PEMOHON sehingga PEMOHON tidak tahu menahu pemilik Besi tersebut, yang disaat itu PEMOHON membeli Besi Hijau tersebut sebesar Rp. 39.500,- (tiga puluh Sembilan ribu lima ratus rupiah) dengan berat Bobot 8,5 Kilogram;

 

Bahwa Pelapor mengakui besi tersebut sebagai miliknya dan berada didalam Gudang Bobot / Rongsokan PEMOHON tidak disertai dengan Bukti Kepemilikan oleh Pelapor, sehingga siapa saja dapat mengakui Besi tersebut sebagai miliknya, dan atas Penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh TERMOHON adalah merupakan bentuk tindakan kesewenang-wenangan dan melanggar Hak Asasi PEMOHON;

 

Bahwa bentuk kesewenang-wenangan TERMOHON terlihat jelas dari tidak dapat ditunjukannya Surat Perintah Penggeledahan dan Surat Perintah Penyitaan kepada PEMOHON dan hanya menunjukan Surat Perintah Tugas untuk melakukan Penyelidikan, dan terhadap hal tersebut malah TERMOHON telah melakukan Penggeledahan terlebih dahulu, lalu kemudian dibelakangan karena Ibu Suyanti mempertanyakan Surat tersebut, TERMOHON baru menyiapkan Surat Penggeledahan dibelakangan;

 

Bahwa TERMOHON tidak menunjukan sikap Profesionalisme sebagai Anggota Kepolisian Republik Indonesia dan bahkan mencederai Motto Kepolisian RI yaitu Prediktif, Responsibilitas dan Transparasi berkeadilan (Presisi);

 

Bahwa terlihat jelas jika TERMOHON menunjukan arogansinya sebagai Penyelidik dan/atau Penyidik dalam melakukan Penggeledahan dan Penyitaan yang tidak sesuai Prosedur dan oleh karenanya patut secara hukum melalui Permohonan Praperadilan tersebut dinyatakan tidak sah tindakan Penggeledahan dan Penyitaan yang dilakukan oleh TERMOHON;

 

Bahwa Pelapor yang mengakui Kehilangan Palang Besi Pesantren Babul Izzah membuat Laporan Polisi No : LP/B/83/VII/2023/SPKT/POLSEK DOLOK MASIHUL/POLRES SERGAI/POLDA SUMUT tertanggal 6 Juli 2023; yang kemudian ditanggal tersebut dibuat Pula Surat Perintah Tugas oleh TERMOHON untuk melakukan Penyelidikan, serta Surat Penggeledahan dibuat pula pada tanggal yang sama yaitu tanggal 6 Juli 2023;

 

Bahwa Surat Penggeledahan baru dibuat setelah TERMOHON melakukan Penggeledahan pada Gudang bobot/rongsokan milik PEMOHON, sehingga Surat Penggeledahan yang telat tersebut patut dinyatakan tidak sah;

 

Bahwa didalam Surat Perintah Penggeledahan No : SP.Dah/19/VII/RES.1.8/2023 tertanggal 6 juli 2023  tertuang didalamnya Nama PEMOHON dan perintah penggeledahan rumah atau tempat tertutup lainnya milik PEMOHON. Akan tetapi tertuang PEMOHON adalah atas nama Tersangka; padahal Perkara tersebut barulah pada tahap Penyelidikan dan belum ditahap Penyidikan dan malah mentasnamakan PEMOHON sebagai Tersangka; hal tersebut menunjukan sikap TERMOHON yang tidak professional sehingga Surat Perintah Penggeledahan Nomor SP.Dah/19/VII/RES.1.8/2023 tertanggal 6 juli 2023  patut dinyatakan tidak sah;

 

Bahwa selain itu TERMOHON melanggar ketentuan yang termuat dalam Pasal 33 ayat (5) KUHAP dikarenakan TERMOHON sampai dengan saat ini berita acara dati turunannya tidak disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan;

 

Bahwa TERMOHON juga tidak memperoleh Izin Penggeledahan dari Ketua Pengadilan negeri setempat karenanya melanggar Ketentuan Pasal 33 ayat (1) KUHAP. Selain itu jika dalil TERMOHON melakukan Penggeledahan secara mendesak sebagaimana Ketentuan Pasal 34 ayat (1) KUHAP. seharusnya TERMOHON wajib segera meminta persetujuan Ketua Pengadilan Negeri setempat; dan hingga Permohonan Prapradilan ini diajukan TERMOHON belum juga memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Setempat untuk memperoleh persetujuan Penggeledahan, sehingga berdasarkan hal tersebut Surat Perintah a.         Penggeledahan TERMOHON atau Penggeledahan yang dilakukan oleh TERMOHON adalah tidak sah;

 

Bahwa selain itu tindakan Penyitaan oleh TERMOHON juga tidak sah karena TERMOHON tidak menunjukan Surat Perintah Penyitaan kepada PEMOHON maupun Keluarganya, dan oleh dikarenakan kewajiban TERMOHON sebagaimana ketentuan yang termuat dalam Pasal 38 KUHAP yang menyatakan :

 

Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat.

 

Dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak bilamana penyidik harus segera bertindak dan tidak mungkin untuk mendapatkan surat izin terlebih dahulu, tanpa mengurangi ketentuan ayat (1) penyidik dapat melakukan penyitaan hanya atas benda bergerak dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.

 

Bahwa berdasarkan hal tersebut selain Penyitaan dilakukan dengan tidak menenuhi Izin dari Ketua Pengadilan Negeri Setempat, sampai Permohonan Praperadilan ini diajukan oleh PEMOHON. TERMOHON sama sekali tidak menaati Perintah Undang-undang untuk segera melapor pada Pengadilan Negeri Setempat berkaitan dengan penyitaan yang dilakukannya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 38 KUHAP;

 

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka tindakan PEMOHON dalam melakukan Penggeledahan dan Penyitaan adalah tidak berdasarkan hukum dan oleh karenanya patut dinyatakan Penyitaan dan Penggeledahan kepada PEMOHON yang dilakukan oleh TERMOHON adalah melanggar hukum.dan dinyatakan tidak sah;

 

PENGGELEDAHAN DAN PENYITAAN MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM

 

Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga asas hukum presumption of innocence atau asas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, Negara pun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti dijawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita, termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan;

 

Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semenjak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan, bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaat;

 

Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh paham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya asas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’;

 

Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaimana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas);

 

Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan

 

Bahwa sebagaimana telah PEMOHON uraikan diatas, bahwa tindakan Penggeledahan dan Penyitaan dilakukan dengan tidak sesuai dengan prosedur menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

 

Sehingga apabila dihubungkan dengan ulasan PEMOHON dalam Permohonan a quo sebagaimana telah diuraikan di atas dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :

 

“Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”

 

 Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan

 

Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh TERMOHON kepada PEMOHON dengan melakukan PENGGELEDAHAN dan PENYITAAN yang melanggar Hukum Acara dan Cacat Prosedur atau telah dibuat secara keliru, maka Majelis hakim Pengadilan Negeri Sei Rampah yang memeriksa dan mengadili perkara a quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan Penggeledahan dan Penyiaan terhadap PEMOHON dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

Berdasar pada argumentasi hukum dan fakta-fakta yuridis diatas, PEMOHON mohon kepada Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Sei Rampah yang memeriksa dan mengadili perkara praperadilan a quo berkenan memutus perkara ini sebagai berikut :

 

  1. Menyatakan diterima permohonan PEMOHON Praperadilan untuk seluruhnya;

 

  1. Menyatakan tindakan TERMOHON dalam melakukan Penggeledahan terhadap Gudang Bobot / Rongsokan milik PEMOHON tertanggal 6 Juli 2023 adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya Segala tindakan dan surat berkenaan dengan Penggeledahan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

 

  1. Menyatakan tindakan TERMOHON dalam melakukan Penyitaan terhadap Plang Besi berwarna Hijau dengan Bobot Berat 8,5 Kilogram yang disita saat Penggeledahan pada Gudang Bobot / Rongsokan milik PEMOHON tertanggal 6 Juli 2023 adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya Segala tindakan dan surat berkenaan dengan Penggeledahan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

 

  1. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh TERMOHON yang berkenaan dengan perkara a quo atas diri PEMOHON oleh TERMOHON;

 

  1. Memerintahkan kepada TERMOHON untuk menghentikan penyelidikan dan/atau penyidikan terhadap perintah penyelidikan dan/atau penyidikan kepada PEMOHON;

 

  1. Memulihkan hak Para PEMOHON dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya;

 

  1. Menghukum TERMOHON untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

Apabila Yang Terhormat Hakim Tunggal pada Pengadilan Negeri Sei Rampah yang memeriksa Permohonan a quo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Pihak Dipublikasikan Ya